[Media Kerohanian] Mengapa Agama Hindu Menyembah Patung?

Penulis: Dept. Kerohanian PHO HMA-PNUP Periode 2020-2021

Sumber : telusuribali.com

Mengapa Agama Hindu Menyembah Patung?

Para bijak sering mengatakan bahwa agama Hindu merupakan agama yang universal. Ibarat pepatah, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Artinya di mana pun agama Hindu tersebut akan selalu menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tradisi, dan budaya setempat.

Hindu bukanlah agama yang kaku, karena sifatnya fleksibel. Pemujaan terhadap Tuhan dalam Hindu tak harus seragam, tak harus menggunakan mantra-mantra yang berbahasa Sansekerta, namun juga dengan bahasa Bali, Jawa, atau bahasa lainnya yang penting niat dan ketulusan. Lalu bagaimana dengan Hindu khususnya di Bali yang dianggap sebagai pemuja patung atau batu? Agama Hindu sangat menghargai seni, bahkan semua ritual dalam agama Hindu di Bali adalah seni dan akan sangat mustahil sebuah ritual tersebut terlaksana tanpa adanya seni.

Patung adalah hasil imajinasi dari pikiran manusia dan lahir karena kekayaan, ketajaman, dan kejelian imajinasi. Selain itu untuk memahami sesuatu yang abstrak perlu dikonkritkan. Tuhan adalah sesuatu yang abstrak yang tak bisa digambarkan oleh siapapun di dunia ini. Dengan keterbatasan manusia sehingga dengan seni dibuatlah simbol atau media untuk memusatkan diri pada Tuhan salah satunya berupa patung. Akan tetapi Hindu tidaklah memuja media berupa patung yang dibuat tersebut, melainkan hanya sebagai media untuk meyakini keberadaan Tuhan dan dalam melakukan pemujaan umat Hindu tidak memusatkan diri pada patung melainkan pada Tuhan.

Hal ini bisa dianalogikan seperti ini. Seseorang yang mencintai Soekarno dan belum pernah bertemu Soekarno pasti akan mencari sosoknya lewat foto-foto, rekaman video, maupun buku-buku yang menuliskan tentang Soekarno. Apakah bisa dikatakan bahwa orang tersebut memuja foto-foto, video, atau buku-buku yang menuliskan tentang Soekarno? Tentu tidak demikian, karena foto, video, maupun buku tersebut adalah sebuah jalan untuk mengetahui Soekarno dan orang itu akan tetap kagum pada sosok Soekarno bukan pada fotonya.

Seorang Hindu yang taat tidak malu pergi ke kuil dan membungkuk di hadapan seorang idolanya (Para Dewa). Dia tidak ragu untuk berdiri di depan-Nya dan berbicara kepada-Nya seolah-olah dia berbicara kepada seseorang dengan iman dan pengabdian yang patut dicontoh yang bukan dari dunia ini. Dia mungkin kaya atau miskin, mencari sesuatu atau hanya berdoa tanpa harapan, berpendidikan atau tidak berpendidikan, pengabdian dan dedikasinya kepada Tuhan dan pelayanan tidak perlu dipertanyakan lagi. Maka seperti itulah, akibat dari keterbatasan manusia yang tak mampu membayangkan wujud Tuhan ketika hendak memuja-Nya, diwujudkan Tuhan dalam sebuah karya seni seperti Patung.

Saat sembahyang ketika umat Hindu terlihat sedang memuja patung. Dalam hati terdalam mereka tidaklah berkata “Oh patung…” tapi dalam hati mereka yang disebut adalah Tuhan. Jadi patung adalah sebagai media pemujaan, sebagai alat konsentrasi untuk mencurahkan segala perhatian, pikiran, dan puja-puji umat Hindu kepada Tuhan.

Terkait hal ini, dalam Bhagawad Gita 4.11 disebutkan:
“Ye yatha mam, prapadyante tams, tathaiva bhajamy aham, mama vartmanuvartante, manusyah partha sarvauah”.
Artinya: Dengan jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal, Semua oran g mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha.

Lalu bagaimana dengan anggapan Hindu pemuja pohon? Setiap enam bulan sekali umat Hindu di Bali merayakan Tumpek Wariga yang merupakan hari untuk pemuliaan pada tumbuhan. Pada hari itu dipersembahkan sesajen untuk tumbuh-tumbuhan sebagai bentuk rasa terima kasih atas hasil bumi atau hasil dari tumbuhan atau tanaman yang bisa dinikmati. Mengucapkan rasa terima kasih bukan berarti memujanya, bukan?

Selain itu pohon-pohon yang besar juga diberi sesajen, diisi kain poleng atau hitam putih. Ini merupakan bentuk pelestarian terhadap pohon yang dilakukan umat Hindu di Bali dan merupakan warisan dari nenek moyangnya. Karena dengan diberi sesajen dan diisi kain poleng pohon tersebut akan dianggap angker sehingga menjadi lestari dan tak ada yang berani menebangnya. Dalam konsep Tri Hita Karana juga ada Palemahan atau hubungan baik dengan lingkungan sekitar termasuk pepohonan.

Semuanya Tuhan

Segala ciptaan adalah unsur tuhan
Segala aspek materi perwujudan-Nya
Tuhan meresapi segalanya.
Dia bukan ini, bukan pula itu
Dia tak terpikirkan

Berbagai Rupa dan Nama muncul dari pikiran
Menempatkan energi Ilahi pada wujud patung
Sebagai tindakan nyata bhakti pada Tuhan
Menuju penyatuan melalui unsur cipataan-Nya.

Terlahir Untuk Satu



#LITEK_alvrndhsr

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *