[Kelas Menulis] Toxic Positivity

Toxic Positivity

Penulis: Zhofiroh (Mahasiswa Akuntansi PNUP’2019)

Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif. Menolak emosi negatif yang dimaksudkan adalah seperti marah, sedih, kecewa, atau putus asa atas suatu hal yang terjadi pada diri kita ataupun orang lain. Toxic positivity ini sering sekali terjadi di lingkungan sosial kita tanpa kita sadari utamanya ketika kita memiliki masalah atau mendengarkan permasalahan orang lain.

Toxic positivity sering sekali dianggap remeh bahkan tidak ada dalam interaksi sosial kita sehari-hari karena biasanya terjadi melalui ucapan dan dibingkai dalam nasehat atau bahasa yang terkesan positif, walaupun sejujurnya kalimat itu memiliki emosi negatif. Toxic positivity membuat kesan bahwa seorang manusia harus selalu berpikir positif tentang apapun yang terjadi sekalipun hal itu adalah hal yang buruk atau berat bagi orang yang mengalami.

Contoh yang paling umum tentang toxic positivity adalah ketika kita mendengarkan permasalahan yang dialami teman kita dan kita menasehatinya dengan mengatakan untuk tetap semangat karena permasalahan yang teman kita alami hanyalah hal kecil yang tidak ada efeknya menurut kita. Tapi menurut teman yang memiliki permasalahan, masalahnya ini merupakan masalah yang memiliki efek besar bagi dia di masa yang akan datang. Ketika kita mengatakan hal seperti ‘semangat dong. Masalah begitu saja kok gak bisa, itu kan cuma hal kecil?’ memiliki kesan seolah-olah kita meremehkan kemampuan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya.

Permasalahan toxic positivity bukan hanya disebabkan karena interaksi sosial dengan lingkup umur sebaya tapi bisa terjadi juga di lingkup keluarga maupun bacaan sosial media. Contoh toxic positivity di lingkungan keluarga misalnya ketika seorang anak merasa tertekan untuk selalu belajar dan ingin rehat sejenak, keluarganya menanggapi bahwa memang anak itu malas dan membanding-bandingkannya dengan anak yang lain tanpa tahu apa yang anaknya sendiri alami. Contoh toxic positivity di sosial media juga bisa terlihat ketika ada seseorang yang mencurahkan pemikirannya atas suatu hal namun dikomentari bahwa orang itulah yang tidak bisa menerima perbedaan atau pemikirannya terlalu sempit.

Dampak dari toxic positivity bukan hanya berlaku untuk suatu waktu saja, tapi bisa memengaruhi mental seseorang ke depannya ketika ia perlu menghadapi masalah dan mengekspresikannya. Toxic positivity yang sudah mempengaruhi mental seseorang dapat dilihat ketika ia lebih memilih menyembunyikan perasaannya dibanding mengeksperiskannya karena ia memiliki anggapan bahwa orang-orang hanya akan menatakan bahwa masalah yang dia alami hanyalah masalah kecil yang tidak sama jika dibandingkan dengan masalah orang lain. Padahal kita ketahui bahwasanya kekuatan mental seseorang dalam menyelesaikan permasalahan tentang dirinya sendiri-sendiri itu berbeda dan tidak bisa disamakan. Perasaan ini juga bisa muncul dikarenakan tekanan sosial saat ini yang menuntut seseorang untuk selalu tampil sempurna dan bahagia tanpa peduli apapun yang terjadi dibaliknya.

Namun, , toxic positivity tetap bisa dihindari dengan beberapa cara. Contohnya ketika kita mendengar orang lain berkeluh-kesah mengenai permasalahannya, langkah yang kita lakukan adalah sebisa mungkin memahami apa yang orang itu rasakan bukan menghakiminya. Sehingga ketika kita akan memberikan komentar, komentar itu bukanlah kalimat yang positif namun berkesan negatif. Lalu, kita juga perlu berhenti untuk membanding-bandingkan masalah yang kita alami dengan masalah yang orang lain alami. Tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja masalah yang dihadapi cukup sama, namun kesiapan mental serta solusi yang ditempuh berbeda karena hasil akhir yang diinginkan juga berbeda.

Kita juga bisa memilih kepada siapa kita akan menceritakan masalah kita untuk menghindari bercerita ke orang yang salah dan menghakimi tanpa memahami dengan baik kondisinya. Ketika hal ini juga tidak mungkin dilakukan karena perasaan takut akan toxic positivity dari orang lain, kita bisa mencurahkannya dengan menulis di buku harian atau mood planner. Mengenali emosi yang kita rasakan juga penting karena emosi negatif atau positif yang berlebihan akan berakhir tidak baik. Selain menghindari, kita juga harus mengingat bahwa kita sendiri tidak boleh menjadi sumber toxic positivity bagi orang lain.

Ingatlah bahwa tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja sepanjang waktu. Tidak perlu menyangkal kesedihan dan berpura-pura selalu bahagia atau berpura-pura senang ketika merasa kecewa. Setiap orang memiliki masalah dengan cara menganggapinya yang berbeda sehingga kita tidak bisa menyamakan satu dengan lainnya.

Terlahir Untuk Satu



#LITEK_alvrndhsr

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *